SEARCH

Translate

21/03/13

Bentang Alam Karst

Sejarah

Kars merupakan fenomena alam yang sangat menarik, yaitu berupa bentang alam yang berkembang pada batuan yang mudah larut oleh air, seperti batuan karbonat atau batugamping. Proses karsitifikasi pada batuan tersebut terjadi selama ribuan hingga jutaan tahun dan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Tatanan geologi dan sistem tata air merupakan pengendali utama proses karsitifikasi, baik di permukaan maupun dibawah permukaan tanah.

 Bentang Alam Kars
Indonesia memiliki kawasan kars yang sangat luas, yaitu mencapai lebih dari 15,4 juta hektar. Kawasan kars Indonesia umumnya mengandung keanekaragaman hayati dan non-hayati yang mempunyai nilai-nilai keindahan, keunikan, ilmiah, ekonomi, budaya, sejarah, dan kemanusiaan sehingga menarik minat nasional dan dunia internasional.
Di Indonesia perhatian terhadap kawasan kars telah berlangsung sejak lama, namun perhatiannya terasa lebih menonjol sejak dilaksanakannya Lokakarya Nasional Pengelolaan Kawasan Kars, pada tanggal 4-5 Agustus 2004, di Kabupaten Wonogiri yang diprakarsai oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dan pada acara tersebut muncul gagasan tentang perlunya Indonesia untuk memiliki museum kars.
Pada tanggal 6 Desember 2004 di Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Presiden Republik Indonesia telah menetapkan Kawasan Kars Gunung Sewu dan Gombong Selatan sebagai Kawasan “Eco Karst”. Selanjutnya pada akhir 2005 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Intruksi Presiden Nomor 16 tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata, diantaranya mengintruksikan kepada Menteri ESDM untuk mengembangkan kawasan kars sebagai daya tarik wisata. Berdasarkan hal terebut di atas Departemen ESDM cq Badan Geologi bersama-sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kabupaten Wonogiri telah membuat kesepakatan bersama yang pada prinsipnya bersepakat untuk secara bersama-sama mewujudkan terbangunnya Museum Kars Indonesia.
Penandatangan Kesepakatan Bersama pembangunan museum ini dilakukan di Wisma Perdamaian, Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 22 Februari 2008 antara Kepala Badan Geologi, DESDM, Gubernur Jawa Tengah dan Bupati Wonogiri, disaksikan oleh Menteri ESDM sebagai wujud kebersamaan dalam Pembangunan Museum Kars, dengan tujuan untuk pelestarian dan konservasi kawasan kars, meningkatkan apresiasi masyarakat mengenai kawasan kars, meningkatkan potensi wisata geologi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Pembangunan Museum Kars Indonesia dilaksanakan di Desa Gerbangharjo, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah sebagai salah satu perwujudan sarana penyebarluasan informasi tentang kawasan kars di Indonesia dan dunia yang mempunyai fungsi sebagai sarana ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata, konservasi, dan pemberdayaan masyarakat. Peletakan batu permata dilakukan oleh Bapak Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Gubernur Jawa Tengah yang diwakili oleh Kepala Biro Bina Produksi dan Bupati Wonogiri serta Kepala Badan Geologi pada tanggal 2 Juli 2008.
Peresmian Gedung Museum kars telah dilakukan pada tanggal 30 Juni 2009, penanda tanganan prasasti di lakukan di Kota Sragen bersamaan dengan peresmian Technopark Kabupaten Sragen oleh Presiden Republik Indonesia, Bapak DR. Susilo Bambang Yudhoyono. Sedangkan sarana pendukung yang berupa jalan masuk, gardu penjagaan, masjid serta sarana kios di belakang gedung museum diresmikan pada tanggal 18 Desember 2009 oleh Gubernur Jawa Tengah, Bapak Bibit Waluyo.

18/03/13

Bintang

Bintang merupakan benda langit yang memancarkan cahaya. Terdapat bintang semu dan bintang nyata. Bintang semu adalah bintang yang tidak menghasilkan cahaya sendiri, tetapi memantulkan cahaya yang diterima dari bintang lain. Bintang nyata adalah bintang yang menghasilkan cahaya sendiri. Secara umum sebutan bintang adalah objek luar angkasa yang menghasilkan cahaya sendiri (bintang nyata).
Menurut ilmu astronomi, definisi bintang adalah:
Semua benda masif (bermassa antara 0,08 hingga 200 massa matahari) yang sedang dan pernah melangsungkan pembangkitan energi melalui reaksi fusi nuklir.
Oleh sebab itu bintang katai putih dan bintang neutron yang sudah tidak memancarkan cahaya atau energi tetap disebut sebagai bintang. Bintang terdekat dengan Bumi adalah Matahari pada jarak sekitar 149,680,000 kilometer, diikuti oleh Proxima Centauri dalam rasi bintang Centaurus berjarak sekitar empat tahun cahaya.

Sejarah Pengamatan

Bintang-bintang telah menjadi bagian dari setiap kebudayaan. Bintang-bintang digunakan dalam praktik-praktik keagamaan, dalam navigasi, dan bercocok tanam. Kalender Gregorian, yang digunakan hampir di semua bagian dunia, adalah kalender Matahari, mendasarkan diri pada posisi Bumi relatif terhadap bintang terdekat, Matahari.
Astronom-astronom awal seperti Tycho Brahe berhasil mengenali ‘bintang-bintang baru’ di langit (kemudian dinamakan novae) menunjukkan bahwa langit tidaklah kekal. Pada 1584 Giordano Bruno mengusulkan bahwa bintang-bintang sebenarnya adalah Matahari-matahari lain, dan mungkin saja memiliki planet-planet seperti Bumi di dalam orbitnya,[1] ide yang telah diusulkan sebelumnya oleh filsuf-filsuf Yunani kuno seperti Democritus dan Epicurus.[2] Pada abad berikutnya, ide bahwa bintang adalah Matahari yang jauh mencapai konsensus di antara para astronom. Untuk menjelaskan mengapa bintang-bintang ini tidak memberikan tarikan gravitasi pada tata surya, Isaac Newton mengusulkan bahwa bintang-bintang terdistribusi secara merata di seluruh langit, sebuah ide yang berasal dari teolog Richard Bentley.[3]
Astronom Italia Geminiano Montanari merekam adanya perubahan luminositas pada bintang Algol pada 1667. Edmond Halley menerbitkan pengukuran pertama gerak diri dari sepasang bintang “tetap” dekat, memperlihatkan bahwa mereka berubah posisi dari sejak pengukuran yang dilakukan Ptolemaeus dan Hipparchus. Pengukuran langsung jarak bintang 61 Cygni dilakukan pada 1838 oleh Friedrich Bessel menggunakan teknik paralaks.
William Herschel adalah astronom pertama yang mencoba menentukan distribusi bintang di langit. Selama 1780an ia melakukan pencacahan di sekitar 600 daerah langit berbeda. Ia kemudian menyimpulkan bahwa jumlah bintang bertambah secara tetap ke suatu arah langit, yakni pusat galaksi Bima Sakti. Putranya John Herschel mengulangi pekerjaan yang sama di hemisfer langit sebelah selatan dan menemukan hasil yang sama.[4] Selain itu William Herschel juga menemukan bahwa beberapa pasangan bintang bukanlah bintang-bintang yang secara kebetulan berada dalam satu arah garis pandang, melainkan mereka memang secara fisik berpasangan membentuk sistem bintang ganda.

Radiasi
                                              
Tenaga yang dihasilkan oleh bintang, sebagai hasil samping dari reaksi fusi nuklear, dipancarkan ke luar angkasa sebagai radiasi elektromagnetik dan radiasi partikel. Radiasi partikel yang dipancarkan bintang dimanifestasikan sebagai angin bintang (yang berwujud sebagai pancaran tetap partikel-partikel bermuatan listrik seperti proton bebas, partikel alpha dan partikel beta yang berasal dari bagian terluar bintang) dan pancaran tetap neutrino yang berasal dari inti bintang.
Hampir semua informasi yang kita miliki mengenai bintang yang lebih jauh dari Matahari diturunkan dari pengamatan radiasi elektromagnetiknya, yang terentang dari panjang gelombang radio hingga sinar gamma. Namun tidak semua rentang panjang gelombang tersebut dapat diterima oleh teleskop landas Bumi. Hanya gelombang radio dan gelombang cahaya yang dapat diteruskan oleh atmosfer Bumi dan menciptakan ‘jendela radio’ dan ‘jendela optik’. Teleskop-teleskop luar angkasa telah diluncurkan untuk mengamati bintang-bintang pada panjang gelombang lain.
Banyaknya radiasi elektromagnetik yang dipancarkan oleh bintang dipengaruhi terutama oleh luas permukaan, suhu dan komposisi kimia dari bagian luar (fotosfer) bintang tersebut. Pada akhirnya kita dapat menduga kondisi di bagian dalam bintang, karena apa yang terjadi di permukaan pastilah sangat dipengaruhi oleh bagian yang lebih dalam.
Dengan menelaah spektrum bintang, astronom dapat menentukan temperatur permukaan, gravitasi permukaan, metalisitas, dan kecepatan rotasi dari sebuah bintang. Jika jarak bisa ditentukan, misal dengan metode paralaks, maka luminositas bintang dapat diturunkan. Massa, radius, gravitasi permukaan, dan periode rotasi kemudian dapat diperkirakan dari pemodelan. Massa bintang dapat juga diukur secara langsung untuk bintang-bintang yang berada dalam sistem bintang ganda atau melalui metode mikrolensing. Pada akhirnya astronom dapat memperkirakan umur sebuah bintang dari parameter-parameter di atas.

Fluks pancaran

Kuantitas yang pertama kali langsung dapat ditentukan dari pengamatan sebuah bintang adalah fluks pancarannya, yaitu jumlah cahaya atau tenaga yang diterima permukaan kolektor (mata atau teleskop) per satuan luas per satuan waktu. Biasanya dinyatakan dalam satuan watt per cm2 (satuan internasional) atau erg per detik per cm2 (satuan cgs).

Luminositas

Di dalam astronomi, luminositas adalah jumlah cahaya atau energi yang dipancarkan oleh sebuah bintang ke segala arah per satuan waktu. Biasanya satuan luminositas dinyatakan dalam watt (satuan internasional), erg per detik (satuan cgs) atau luminositas Matahari. Dengan menganggap bahwa bintang adalah sebuah benda hitam sempurna, maka luminositasnya adalah,
L = 4 \pi R^2 \sigma T_{e}^4
dimana L adalah luminositas, σ adalah tetapan Stefan-Boltzmann, R adalah jari-jari bintang dan Te adalah temperatur efektif bintang.
Jika jarak bintang dapat diketahui, misalnya dengan menggunakan metode paralaks, luminositas sebuah bintang dapat ditentukan melalui hubungan
E = \frac {L} {4 \pi d^2}
dengan E adalah fluks pancaran, L adalah luminositas dan d adalah jarak bintang ke pengamat.

Magnitudo

Secara tradisi kecerahan bintang dinyatakan dalam satuan magnitudo. Kecerahan bintang yang kita amati, baik menggunakan mata bugil maupun teleskop, dinyatakan oleh magnitudo tampak (m) atau magnitudo semu. Secara tradisi magnitudo semu bintang yang dapat dilihat oleh mata bugil dibagi dari 1 hingga 6, di mana satu ialah bintang paling cerah, dan 6 sebagai bintang paling redup. Terdapat juga kecerahan yang diukur secara mutlak, yang menyatakan kecerahan bintang sebenarnya. Kecerahan ini dikenal sebagai magnitudo mutlak (M), dan terentang antara +26.0 sampai -26.5. Magnitudo adalah besaran lain dalam menyatakan fluks pancaran, yang terhubungkan melalui persamaan,
m = -2,5 \log(E) + konstanta \,\!
dimana m adalah magnitudo semu dan E adalah fluks pancaran.

Satuan pengukuran

Kebanyakan parameter-parameter bintang dinyatakan dalam satuan SI, tetapi satuan cgs kadang-kadang digunakan (misalnya luminositas dinyatakan dalam satuan erg per detik). Penggunaan satuan cgs lebih bersifat tradisi daripada sebuah konvensi. Seringkali pula massa, luminositas dan jari-jari bintang dinyatakan dalam satuan Matahari, mengingat Matahari adalah bintang yang paling banyak dipelajari dan diketahui parameter-parameter fisisnya. Untuk Matahari, parameter-parameter berikut diketahui:
Skala panjang seperti setengah sumbu besar dari sebuah orbit sistem bintang ganda seringkali dinyatakan dalam satuan astronomi (AU = astronomical unit), yaitu jarak rata-rata antara Bumi dan Matahari.

Klasifikasi

Berdasarkan spektrumnya, bintang dibagi ke dalam 7 kelas utama yang dinyatakan dengan huruf O, B, A, F, G, K, M yang juga menunjukkan urutan suhu, warna dan komposisi-kimianya. Klasifikasi ini dikembangkan oleh Observatorium Universitas Harvard dan Annie Jump Cannon pada tahun 1920an dan dikenal sebagai sistem klasifikasi Harvard. Untuk mengingat urutan penggolongan ini biasanya digunakan kalimat "Oh Be A Fine Girl Kiss Me". Dengan kualitas spektrogram yang lebih baik memungkinkan penggolongan ke dalam 10 sub-kelas yang diindikasikan oleh sebuah bilangan (0 hingga 9) yang mengikuti huruf. Sudah menjadi kebiasaan untuk menyebut bintang-bintang di awal urutan sebagai bintang tipe awal dan yang di akhir urutan sebagai bintang tipe akhir. Jadi, bintang A0 bertipe lebih awal daripada F5, dan K0 lebih awal daripada K5.
Kelas
Warna
Suhu Permukaan °C
Contoh
O
Biru
> 25,000
B
Putih-Biru
11.000 - 25.000
A
Putih
7.500 - 11.000
F
Putih-Kuning
6.000 - 7.500
G
Kuning
5.000 - 6.000
K
Jingga
3.500 - 5.000
M
Merah
<3,500
Pada tahun 1943, William Wilson Morgan, Phillip C. Keenan, dan Edith Kellman dari Observatorium Yerkes menambahkan sistem pengklasifikasian berdasarkan kuat cahaya atau luminositas, yang seringkali merujuk pada ukurannya. Pengklasifikasian tersebut dikenal sebagai sistem klasifikasi Yerkes dan membagi bintang ke dalam kelas-kelas berikut :
  • 0 Maha maha raksasa
  • I Maharaksasa
  • II Raksasa-raksasa terang
  • III Raksasa
  • IV Sub-raksasa
  • V deret utama (katai)
  • VI sub-katai
  • VII katai putih
Umumnya kelas bintang dinyatakan dengan dua sistem pengklasifikasian di atas. Matahari kita misalnya, adalah sebuah bintang dengan kelas G2V, berwarna kuning, bersuhu dan berukuran sedang.
Diagram Hertzsprung-Russell adalah diagram hubungan antara luminositas dan kelas spektrum (suhu permukaan) bintang. Diagram ini adalah diagram paling penting bagi para astronom dalam usaha mempelajari evolusi bintang.

Penampakan dan Distribusi
Karena jaraknya yang sangat jauh, semua bintang (kecuali Matahari) hanya tampak sebagai titik saja yang berkelap-kelip karena efek turbulensi atmosfer Bumi. Diameter sudut bintang bernilai sangat kecil ketika diamati menggunakan teleskop optik landas Bumi, hingga diperlukan teleskop interferometer untuk dapat memperoleh citranya. Bintang dengan ukuran diameter sudut terbesar setelah Matahari adalah R Doradus, dengan 0,057 detik busur.