SEARCH

Translate

25/02/15

Indonesia - Ethiopia


Hubungan dengan Indonesia
HUBUNGAN BILATERAL INDONESIA – ETHIOPIA
Ethiopia juga memandang peran penting Indonesia, khususnya dalam mendukung kepentingan negaras berkembang di forums kerjasama GNB dan Asia Afrika. Ethiopia mengharapkan kiranya kerjasama dengan Indonesia dapat lebih ditingkatkan, khususnya peran penting Indonesia saat ini sebagai anggota DK-PBB dan Dewan HAM

 Hubungan Diplomatik
Hubungan bilateral RI-Ethiopia yang mulai dirintis sejak tahun 1961, mulai dilaksanakan secara formal dengan pembukaan Kedubes RI di Addis Ababa tahun 1964. Sedangkan Ethiopia menunjuk Kedubesnya di Tokyo sebagai Perwakilan akreditasi Indonesia sejak tahun 1978. Sejak tahun 2002, Ethiopia telah berkeinginan membuka kedubesnya di Jakarta, namun sampai saat ini belum dapat terealisasi, dengan alasan finansial.
Perkembangan hubungan kerjasama kedua negara, khususnya di bidang politik mengalami pasang surut. Setelah mengalami hubungan baik pada masa Pemerintahan Kaisar Hailesellasie, hubungan RI-Ethiopia mengalami kemunduran pada masa pemerintahan Kol. Mangestu (Derg) akibat sikap vokal Ethiopia yang anti RI pada masalah Timtim di forum internasional seperti PBB dan GNB. Namun sejak pemerintahan baru Ethiopia di bawah pimpinan PM Meles Zenewi, hubungan RI-Ethiopia mengalami perkembangan positif hingga saat ini.

EKONOMI DAN PERDAGANGAN
Di bidang ekonomi, walaupun dari segi volume perdagangan kedua negara masih relatif kecil, namun memiliki peluang besar untuk lebih ditingkatkan. Dalam kurun waktu satu tahun terakhir, nilai ekspor Indonesia tetap mampu bertahan meskipun kondisi perekonomian Ethiopia saat ini mengalami tekanan cukup berat akibat kenaikan harga bbm dunia, tingginya defisit perdagangan (lebih dari USD 4,5 Milyar), dan tingginya tingkat inflasi (ratas lebih dari 20%). Dalam tahun 2007, ekspor dan impor Indonesia mencapai sebesar US$ 69 juta dan US$ 1,1 juta, atau relatif sama dibandingkan tahun 2006, dengan ekspor sebesar US$ 69,4 juta dan impor US$2 juta. Namun dibandingkan tahun 2005, nilai ekspor Indonesia tersebut mengalami peningkatan 23,3%, dengan surplus tetap berada di pihak Indonesia. Nilai ekspor Indonesia dimaksud tampaknya akan dapat lebih besar sekiranya permintaan impor semen dari Pemerintah Ethiopia sebesar 1 juta ton dari Indonesia pada tahun 2007 lalu dapat terpenuhi.
Tingginya peluang ekspor Indonesia ke Ethiopia tersebut juga tercermin dari tercapainya kontrak dagang antara pengusaha Ethiopia dalam Pameran Produk Ekspor Indonesia Tahun 2007 yang telah menembus angka USD 1,9 juta, dan mendudukan Ethiopia sebagai negara buyer Afrika terbesar selama Pameran.  Berkenaan dengan performance produks ekspor Indonesia sendiri, terdapat 6 jenis produk ekspor unggulan Indonesia ke Ethiopia selama tahun 2007 yakni produk elektronika, sabun dan deterjen, kertas dan buku, ban kendaraan, tekstil dan furniture kayu. Kedua negara saat ini sedang menjajaki kerjasama Persetujuan KSET (Kerjasama Ekonomi dan Teknik).

http://www.indonesia-addis.org.et/kbri%20addis%20ababa_009.htm
http://news.liputan6.com/read/136978/ethiopia-negeri-afrika-kaya-cita-rasa-kuliner

12/02/15

Konferensi Asia - Afrika




Akhir dari perang dunia II pada Agustus 1945, tidak semerta-merta melahirkan perdamain pula di belahan dunia ini. Banyaknya konflik yang menerpa negara-negara yang mengalamai penjajahan oleh Negara Eropa, terutama di negara Asia dan Afrika. Seperti di Jazirah Korea, Indo Cina, Palestina, Afrika Selatan, dan Afrika Utara. Masalah tersebut disebabkan karena adanya dua blok besar yang ingin menyebarkan ideologi mereka. Blok barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat yang menyebarkan ideologi Liberalis, sedangkan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviyet yang menyebarkan ideolohi komunis. Kedua blok tersebut berusaha menyebarkan pengaruhnya ke negara-negara lain terutama Asia Afrika agar menjadi pendukung meraka. Hal tersebut menyebabkan tumbuhnya suasana tegang diantara kedua blok tersebut dan pendukungnya.

Sejak tahun 1945, sudah banyak negara-negara Asia yang sudah memerdekakan diri, seperti Indonesia (1945), Vietnam (1946), Filipina (1956), Pakistan (1947), India (1947), Birma (1948) (MKAA, 2013). Sedanghkan, benyak pula negara Afrika yang masih berjuang untuk memerdekaakan diri seperti, Aljazair, Tunisia, dan Maroko di wilayah Afrika Utara.  Sementara itu, adanya perkembangan tentang pembuatan senjata nuklir yang bisa memusnahkan umat manusia, tentu menambah kekhawatiran bangsa-bangsa di dunia yang bisa memicu lahirnya perang dunia ke tiga. Selain itu, banyaknya konflik yang diantara kelompok masyarakat di negara-negara yang baru merdeka akibat dari penjajahan yang menerapkan politik divide et impera.
Perserikatan Bangsa-Bansa (PBB) sebagai badan Internasional yang telah terbetuk kala itu dan diharapkan mampu menyelasikan masalah dunia, dalam kenyataannya belum berhasil menyelasikan masalah tersebut (Bandungheritage, 2009). Apalagi masalah-masalah dunia itu berimbas kepada negara-negara bekas jajahan eropa yang mayoritas di Wilayah Asia dan Afrika. Dari situasi tersebut lah melahirkan sebuah gagasan dari negara Asia dan Afrika untuk menggalang persatuan dan mencari solusi untuk meredakan ketegangan tersebut.

Tahun 1954, perdana mentri Sri Lanka, Sir John Kotelawala, mengundang beberapa perdana mentri untuk mengadakan sebuah pertemuan di negaranya, diantaranra, U Nu (Birma), jawaharlal Nehru (India), dan Ali Sastroamidjojo (Indonesia) (MKAA, 2013. Dari undangan tersebut memberi arah untuk mengadakan konfrensi Asia Afrika karena pada undangan tersebut membicarakan tentang masalah-masalah bersama yang dihadapi oleh negara Asia Afrika.

Sebelum diadakannya KAA, diadakan terlebih dulu sebuah pertemuaan yang diadakan di Colombo (Sri Lanka) pada tanggal 28 April 1954 sampai 2 Mei 1954 yang dikenal dengan Konfrensi Colombo. Selanjutnya, diadakan pertemuan kedua yang diadakan di Bogor pada tanggal 28 sampai 31 Desember 1954 yang dikenal dengan Konfrensi Panca Negara (Indonesia, Birma, India, Ceylon, dan Pakistan) mengenai persiapan KAA yang hasilnya merumuskan tentang agenda, tujuan, mdan negara-negara yang akan diundang dalam KAA.

Pada tanggal 15 April 1955, surat undangan dikirmkan ke pemimpin negara Asia Afrika. Namun, hanya satu negara yang menolak undangan tersebut yakni Federasi Afrika Tengah karena negara tersebut masih dalam kekuasaan penjajah.

Tanggal 18 April 1955, berlangsunglah Konfrensi Asia Afrika yang digelar di Bandung dan dibuka secara resmi oleh Presiden Soekarno. Konfrensi ini dihadriri oleh 29 Negara, 23 dianatarnya berasal negara Asia dan 6 diantaranya berasal dari Afrika.

Dalam konfrensi tersebut melahirkan kesepakatan yang dituangkan dalam komunike (pemberitahuan resmi), yang isinya mengenai kerjasama dalam bidang ekonomi, kebudayaan, hak-hak asasi manusia dan hak menentukan nasib, masalah rakyat jajahan, deklarasi tentang memajukan perdamain dunia, serta kerjasama internasional.

Deklarasi tersebut, selanjutnya dikenal dengan “Dasa Sila Bandung” yang diantaranya; prinsip-prinsip menghormati persamaan hak dan derajat, non intervensi, penyelesaian sengketa secara damai, menjunjung tinggi keadilan dan kewajiban internasional, serta meningkatkan kepentingan dan kerja sama.

Setelah Konfrensi Asia Afrika yang digelar di Bandung, dalam perkembangannya Dasa Sila yang dihasilkan dalam KAA tersebut sayangnya tidak ada upaya untuk mengembangkan dasa sila yang telah dicanagkan. Penjajahan yang dilakukan oleh negara barat masih dilakukan dengan Ideologi barat yang menitikberatkan pada demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan pembaharuan ekonomi menuju neoliberasime terus diterapkan kepada negara berkembang termasuk Asia Afrika (Adnan, 2008). Ideologi-ideologi yang diterapkan oleh para penjajah itu sangat bertentangan dengan yang mereka ajarkan. Perilaku yang tidak demokratis dam sistem ekonomi yang diarahkan ke sistem neoliberal yang menganut kebabasan pasar terus mereka terapkan melalui IMF (International Moneter Fund).

Adanya krisis moneter yang disebabkan oleh sistem yang diterapkan oleh neggara barat dengan sistem ekonomi Neoliberal menyebakan adanya krisi moneter yang terjadi di  Asia pada tahun 1997-1998 karena banyaknya pasar modal yang berkembang di asia. Spekulasi tersebut belum pernah terjadi di Afrika, namun bukan tidak mungkin bisa terjadi kehadian yang sama di Afrika. Maka dari itu, negara-negara peserta KAA mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika (KTT-AA) di Jakarta pada tanggal 24 April 2005, konfrensi tersebut tertuang dalam Delklarasi Kemitraan Strategis Asia-Afrika (New Asian African Strategic Partnership/NAASP). Pada deklarasi tersebut, para peserta KAA 2005 tetap menegaskan bahwa prinsip Dasa Sila Bandung pada KAA 1955 tetap menjadi landasan utama yang solid, relevas, dan efektif bagi Negara Asia Afrika untuk menyelesaikan masalah global yang menjadi kepentingan bersama. Adapun hasil dari Deklarasi NAASP tersebut menghasilkan banyak pemikiran yang disimpulkan menjadi Nawa Sila (sembilan prinsip). Pada akhir deklarasi ini juga menyebutkan bahwa perlunya untuk memajukan kerja sama nyata diantara negara-negara Asia Afrika yang meliputi perdagangan, indistri, investasi, keuangan, tusrisme, teknologi komunikasi dan informasi, energi, kesehatan, transportasi, pertanian, sumber daya air dan perikanan, sertamenyelesaikan masalah konflik bersenjata, kejahatan transnasional, dan, terorisme yang sangat mendasar untuk menciptakan perdamaian.

NAASP juga menegaskan tiga pilar untuk mendukung kelanjutan dari deklarasi ini, yakni; forum antarpemerintah, organisasi-organisasi subregional dan interaksi orang per orang, khususnya di kalangan bisnis, akademik, dan masyarakat madani. Adapun mekanisme lanjutan dalam mengembangkan NAASP meliputi, pertemuan tingkat tinggi setiap empat tahun, pertemuan para mentri luar negeri setiap dua tahun dan pertemuan menteri sektoral dan pertemuan teknis lainnya jika diperlukan. (Adnan, 2008)

Dari deklarasi tersebut tercermin untuk lebih memperkuat hubungan multilateral diantara kedua benua tersebut. Para peserta KAA 2005 yang dihadiri 100 negara Asia Afrika telah berkomitmen untuk mnenciptakan kawasan yang damai, gerakan bangsa-bangsa yang harmonis, non-eksklusif, terkait dalam kemitraan yang dinamis dan menghayati kaitan sejarah dan warisan budayanya. Serta, mewujudkan masyarakat Asia Afrika yang penghuninya bisa hidup dalam stabilitas, kemakmuran, memiliki harga diri, dan terbebas dari rasa takut dan kekerasan, tekanan, dan ketidakadilan. Keikutsertaan peserta KAA 2005 yang mencapai 100 negara tentu hal tersebut menggambarkan adanya keasadaran dari negara-negara Asia Afrika yang sebelumnya tidak ikut serta dalam KAA 1955 untuk lebih memajukan Asia Afrika.

Hubungan afrika dengan negara berkembang lainnya dalam gerakan non-blok
GNB bukan hanya sekedar ketidakberpihakan pada satu ideologi tertentu, namun GNB juga untuk menjalankan kebijakan koeksitensi secara damai dan kerja sama internasiona yang setara. Hal ini juga menyebabkan negara yang ikutserta dalam OAU harus berpartisipasi wajib dalam GNB. Anggota GNB dari afrika mengedepankan seruan wajib anti imperalisme dan anti rasialis. Hal ini tantu adanya hubungan saling melengkap antara GNB dan OAU untuk mamajukan Afrika.

Dalam hal ini, tentu negara-negara berkembang di Afrika menunjukan kedekatan terhadap prinsip meraka dalam gerakan non-blok dalam masalah-masalah yang menyangkut politik luar negeri mereka. Maka dari itu, resolusi-resolusi yang terus dikembangkan oleh OAU harus sering diwarnai oleh negara Afrika untuk memperkuat GNP untuk menyelesaikan masalah-maslah yangh ada dan mendorong ke arah perdamaian, keamanan, kemerdekaan, dan penentuan nasib sendiri.

Afrika juga memberika sumbangan berhargarga dalam mengatasi pecobaan senjata nuklir, karena dalam GNB terdapat agenda yang meliputi transformasi benua afrika menjadi zona bebas-nuklir dan Smudera Hindia ke dalam zona Damai. Tentu hla tersebut sanagt penting mengingat peran afrika yang dijadikan sebagai wilayah bebas nuklir.


Daftar Pustaka
MKAA. (2013). Sejarah Konferensi Asia Afrika [Online]. Tersedia: http://asianafricanmuseum.org/sejarah-konferensi-asia-afrika/. [10 November 2013]
Bandungheritage. (2009). Sejarah Singkat Konferensi Asia Afrika [Online]. Tersedia: http://www.bandungheritage.org/index.php?option=com_content&view=article&id=32:sejarah-singkat-konferensi-asia-afrika&catid=20:articles. [10 November 2013]