Akhir dari perang dunia II pada Agustus 1945, tidak semerta-merta
melahirkan perdamain pula di belahan dunia ini. Banyaknya konflik yang menerpa
negara-negara yang mengalamai penjajahan oleh Negara Eropa, terutama di negara
Asia dan Afrika. Seperti di Jazirah Korea, Indo Cina, Palestina, Afrika
Selatan, dan Afrika Utara. Masalah tersebut disebabkan karena adanya dua blok
besar yang ingin menyebarkan ideologi mereka. Blok barat yang dipimpin oleh
Amerika Serikat yang menyebarkan ideologi Liberalis, sedangkan Blok Timur yang
dipimpin oleh Uni Soviyet yang menyebarkan ideolohi komunis. Kedua blok
tersebut berusaha menyebarkan pengaruhnya ke negara-negara lain terutama Asia
Afrika agar menjadi pendukung meraka. Hal tersebut menyebabkan tumbuhnya suasana tegang diantara kedua blok tersebut dan pendukungnya.
Sejak tahun 1945, sudah banyak negara-negara Asia yang sudah memerdekakan
diri, seperti Indonesia (1945), Vietnam (1946), Filipina (1956), Pakistan
(1947), India (1947), Birma (1948) (MKAA, 2013). Sedanghkan, benyak pula negara
Afrika yang masih berjuang untuk memerdekaakan diri seperti, Aljazair, Tunisia,
dan Maroko di wilayah Afrika Utara. Sementara itu, adanya perkembangan tentang
pembuatan senjata nuklir yang bisa memusnahkan umat manusia, tentu menambah
kekhawatiran bangsa-bangsa di dunia yang bisa memicu lahirnya perang dunia ke
tiga. Selain itu, banyaknya konflik yang diantara kelompok masyarakat di
negara-negara yang baru merdeka akibat dari penjajahan yang menerapkan politik
divide et impera.
Perserikatan Bangsa-Bansa (PBB) sebagai badan Internasional yang telah
terbetuk kala itu dan diharapkan mampu menyelasikan masalah dunia, dalam
kenyataannya belum berhasil menyelasikan masalah tersebut (Bandungheritage,
2009). Apalagi masalah-masalah dunia itu berimbas kepada negara-negara bekas
jajahan eropa yang mayoritas di Wilayah Asia dan Afrika. Dari situasi tersebut
lah melahirkan sebuah gagasan dari negara Asia dan Afrika untuk menggalang
persatuan dan mencari solusi untuk meredakan ketegangan tersebut.
Tahun 1954, perdana mentri Sri Lanka, Sir John Kotelawala, mengundang
beberapa perdana mentri untuk mengadakan sebuah pertemuan di negaranya, diantaranra,
U Nu (Birma), jawaharlal Nehru (India), dan Ali Sastroamidjojo (Indonesia)
(MKAA, 2013. Dari undangan tersebut memberi arah untuk mengadakan konfrensi
Asia Afrika karena pada undangan tersebut membicarakan tentang masalah-masalah
bersama yang dihadapi oleh negara Asia Afrika.
Sebelum diadakannya KAA, diadakan terlebih dulu sebuah pertemuaan yang
diadakan di Colombo (Sri Lanka) pada tanggal 28 April 1954 sampai 2 Mei 1954
yang dikenal dengan Konfrensi Colombo. Selanjutnya, diadakan pertemuan kedua
yang diadakan di Bogor pada tanggal 28 sampai 31 Desember
1954 yang dikenal dengan Konfrensi Panca Negara (Indonesia, Birma, India,
Ceylon, dan Pakistan) mengenai persiapan KAA yang hasilnya merumuskan tentang
agenda, tujuan, mdan negara-negara yang akan diundang dalam KAA.
Pada tanggal 15 April 1955, surat undangan dikirmkan ke pemimpin negara Asia
Afrika. Namun, hanya satu negara yang menolak undangan tersebut yakni Federasi
Afrika Tengah karena negara tersebut masih dalam kekuasaan penjajah.
Tanggal 18 April 1955, berlangsunglah Konfrensi Asia Afrika yang digelar di
Bandung dan dibuka secara resmi oleh Presiden Soekarno. Konfrensi ini dihadriri
oleh 29 Negara, 23 dianatarnya berasal negara Asia dan 6 diantaranya berasal
dari Afrika.
Dalam konfrensi tersebut melahirkan kesepakatan yang dituangkan dalam komunike
(pemberitahuan resmi), yang isinya mengenai kerjasama dalam bidang ekonomi,
kebudayaan, hak-hak asasi manusia dan hak menentukan nasib, masalah rakyat jajahan, deklarasi tentang memajukan perdamain dunia,
serta kerjasama internasional.
Deklarasi tersebut, selanjutnya dikenal dengan “Dasa Sila Bandung” yang
diantaranya; prinsip-prinsip menghormati persamaan hak dan derajat, non
intervensi, penyelesaian sengketa secara damai, menjunjung tinggi keadilan dan
kewajiban internasional, serta meningkatkan kepentingan dan kerja sama.
Setelah Konfrensi Asia Afrika yang digelar di Bandung, dalam
perkembangannya Dasa Sila yang dihasilkan dalam KAA tersebut sayangnya tidak ada
upaya untuk mengembangkan dasa sila yang telah dicanagkan. Penjajahan yang
dilakukan oleh negara barat masih dilakukan dengan Ideologi barat yang
menitikberatkan pada demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan pembaharuan ekonomi
menuju neoliberasime terus diterapkan kepada negara berkembang termasuk Asia
Afrika (Adnan, 2008). Ideologi-ideologi yang diterapkan oleh para penjajah itu
sangat bertentangan dengan yang mereka ajarkan. Perilaku yang tidak demokratis
dam sistem ekonomi yang diarahkan ke sistem neoliberal yang menganut kebabasan
pasar terus mereka terapkan melalui IMF (International Moneter Fund).
Adanya krisis moneter yang disebabkan oleh sistem yang diterapkan oleh
neggara barat dengan sistem ekonomi Neoliberal menyebakan adanya krisi moneter
yang terjadi di Asia pada tahun
1997-1998 karena banyaknya pasar modal yang berkembang di asia. Spekulasi
tersebut belum pernah terjadi di Afrika, namun bukan tidak mungkin bisa terjadi
kehadian yang sama di Afrika. Maka dari itu, negara-negara peserta KAA
mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika (KTT-AA) di Jakarta pada
tanggal 24 April 2005, konfrensi tersebut tertuang dalam Delklarasi Kemitraan
Strategis Asia-Afrika (New Asian African Strategic Partnership/NAASP). Pada
deklarasi tersebut, para peserta KAA 2005 tetap menegaskan bahwa prinsip Dasa
Sila Bandung pada KAA 1955 tetap menjadi landasan utama yang solid, relevas,
dan efektif bagi Negara Asia Afrika untuk menyelesaikan masalah global yang menjadi kepentingan bersama. Adapun hasil dari Deklarasi NAASP tersebut
menghasilkan banyak pemikiran yang disimpulkan menjadi Nawa
Sila (sembilan prinsip). Pada akhir deklarasi ini juga menyebutkan bahwa
perlunya untuk memajukan kerja sama nyata diantara negara-negara Asia Afrika
yang meliputi perdagangan, indistri, investasi, keuangan, tusrisme, teknologi
komunikasi dan informasi, energi, kesehatan, transportasi, pertanian, sumber
daya air dan perikanan, sertamenyelesaikan masalah konflik bersenjata, kejahatan
transnasional, dan, terorisme yang sangat mendasar untuk menciptakan perdamaian.
NAASP juga menegaskan tiga pilar untuk mendukung kelanjutan dari deklarasi
ini, yakni; forum antarpemerintah, organisasi-organisasi subregional dan
interaksi orang per orang, khususnya di kalangan bisnis, akademik, dan
masyarakat madani. Adapun mekanisme lanjutan dalam mengembangkan NAASP
meliputi, pertemuan tingkat tinggi setiap empat tahun, pertemuan para mentri
luar negeri setiap dua tahun dan pertemuan menteri sektoral dan pertemuan
teknis lainnya jika diperlukan. (Adnan, 2008)
Dari deklarasi tersebut tercermin untuk lebih memperkuat hubungan
multilateral diantara kedua benua tersebut. Para peserta KAA 2005 yang dihadiri
100 negara Asia Afrika telah berkomitmen untuk mnenciptakan kawasan yang damai,
gerakan bangsa-bangsa yang harmonis, non-eksklusif, terkait dalam kemitraan
yang dinamis dan menghayati kaitan sejarah dan warisan budayanya. Serta,
mewujudkan masyarakat Asia Afrika yang penghuninya bisa hidup dalam stabilitas,
kemakmuran, memiliki harga diri, dan terbebas dari rasa takut dan kekerasan,
tekanan, dan ketidakadilan. Keikutsertaan peserta KAA 2005 yang mencapai 100
negara tentu hal tersebut menggambarkan adanya keasadaran dari negara-negara
Asia Afrika yang sebelumnya tidak ikut serta dalam KAA 1955 untuk lebih
memajukan Asia Afrika.
Hubungan afrika dengan negara berkembang lainnya dalam gerakan non-blok
GNB bukan hanya sekedar ketidakberpihakan pada satu ideologi tertentu,
namun GNB juga untuk menjalankan kebijakan koeksitensi secara damai dan kerja
sama internasiona yang setara. Hal ini juga menyebabkan negara yang ikutserta
dalam OAU harus berpartisipasi wajib dalam GNB. Anggota GNB dari afrika
mengedepankan seruan wajib anti imperalisme dan anti rasialis. Hal ini tantu
adanya hubungan saling melengkap antara GNB dan OAU untuk mamajukan Afrika.
Dalam hal ini, tentu negara-negara berkembang di Afrika menunjukan
kedekatan terhadap prinsip meraka dalam gerakan non-blok dalam masalah-masalah
yang menyangkut politik luar negeri mereka. Maka dari itu, resolusi-resolusi
yang terus dikembangkan oleh OAU harus sering diwarnai oleh negara Afrika untuk
memperkuat GNP untuk menyelesaikan masalah-maslah yangh ada dan mendorong ke
arah perdamaian, keamanan, kemerdekaan, dan penentuan nasib sendiri.
Afrika juga memberika sumbangan berhargarga dalam mengatasi pecobaan
senjata nuklir, karena dalam GNB terdapat agenda yang meliputi transformasi
benua afrika menjadi zona bebas-nuklir dan Smudera Hindia ke dalam zona Damai. Tentu
hla tersebut sanagt penting mengingat peran afrika yang dijadikan sebagai
wilayah bebas nuklir.
Daftar Pustaka
MKAA. (2013). Sejarah Konferensi Asia
Afrika [Online]. Tersedia: http://asianafricanmuseum.org/sejarah-konferensi-asia-afrika/. [10 November 2013]
Bandungheritage. (2009). Sejarah Singkat
Konferensi Asia Afrika [Online]. Tersedia: http://www.bandungheritage.org/index.php?option=com_content&view=article&id=32:sejarah-singkat-konferensi-asia-afrika&catid=20:articles. [10 November 2013]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar